Menu Tutup

Hukum Perikatan: Pengertian, Jenis, Asas dan Syarat

Hukum Perikatan

Hukum Perikatan – Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Sedangkan perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini (hubungan ini) muncul perikatan.

Pengertian perjanjian lebih sempit (konkret) dari perikatan (abstrak), sebab perikatan dapat terjadi karena perjanjian dan undang-undang. Undang-undang terbagi atas undang-undang saja, contohnya kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anaknya, hukum kewarisan.

Kemudian undang-undang karena perbuatan manusia, yang terbagi atas perbuatan melawan hukum (onrechmatihge daad), dan perbuatan yang dibolehkan oleh hukum (zaakwarneming).

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan, karena perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber lainnya.

Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur (berpiutang), sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur (berutang).

Apabila tuntutan tidak dipenuhi maka kreditur dapat menuntut baik secara langsung (parate executie) maupun dengan melakukan tuntutan dimuka hakim (reele executie).

Jenis-jenis Perikatan

  1. Perikatan bersyarat. Dikatakan perikatan bersyarat apabila digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu terjadi, misalnya Budi akan menyewakan rumahnya kalau ia dipindahkan keluar negeri.
  2. Perikatan dengan ketetapan waktu. Pada perikatan ini yang menentukan adalah lama waktu berlakunya suatu perjanjian, misalnya rumah ini saya sewa per 1 Januari 2020 sampai tanggal 31 Desember 2020.
  3. Perikatan alternatif/mana suka. Debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetap ia tidak boleh memaksa kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang lainnya.
  4. Perikatan tanggung-menanggung. Pada perikatan ini terdapat beberapa kreditur yang mempunyai hutang pada satu kreditur.  Bila salah satu debitur membayar hutangnya, maka debitur yang lain dianggap telah membayar juga.  Perjanjian ini harus dinyatakan dengan tegas. Contoh, A,B dan C bersama-sama meminjam uang Rp. 90 juta, maka masing-masing hanya dapat ditagih Rp. 30 juta, kecuali kalau telah diperjanjikan bahwa masing-masing dapat ditagih untuk seluruh hutang maka pembayaran dari satu debitur melunaskan hutang debitur lainnya.
  5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Perikatan ini menyangkut objek (prestasi) yang diperjanjikan.  Contoh dapat dibagi misalnya sejumlah barang atau hasil bumi.  Sebaliknya yang tidak dapat dibagi misalnya kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda karena kuda tidak dapat dibagi.
  6. Perikatan dengan ancaman hukuman. Pada perikatan ini ditentukan bahwa untuk jaminan pelaksanaan perikatan diwajibkan untuk melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak terpenuhi.

Asas-asas Hukum Perjanjian

  1. Asas terbuka/kebebasan berkontrak. Sistem terbuka mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian (berkontrak).  Pada pasal 1338 (1) KUHPdt disebutkan bahwa ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Perkataan semua berisi suatu pernyataan bahwa kita dibolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri.  Sistem terbuka juga memungkinkan kita untuk membuat perjanjian diluar KUHPdt, misalnya undang-undang hanya mengatur perjanjian jual beli dan sewa menyewa tetapi dalam praktik timbul suatu perjanjian baru campuran antara jual beli dan sewa menyewa yang disebut sewa beli.
  2. Asas tambahan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap yang berarti bahwa pasal-pasal tersebut boleh disingkirkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian. Para pihak dibolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian (boleh mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan).  Jadi jika suatu perjanjian telah tegas dan jelas maka perjanjian itulah yang mengatur semua hubungan kedua belah pihak, tetapi jika tidak tegas dan jelas maka barulah dilihat pada KUHPdt dan UU.
  3. Asas sepakat/konsensualisme. Pada dasarnya perikatan lahir sejak detik tercapainya kesepakatan.  Jadi pernyataan sepakat tanpa tertulis telah mempunyai kekuatan mengikat, misalnya dalam jual beli atau tukar menukar.  Tetapi ada kalanya undang-undang menetapkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (perjanjian penghibahan “barang tetap”).

Namun demikian perikatan dibatasi atau tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan kepentingan umum.

Syarat Sahnya Perjanjian

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri. Sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian itu. Si penjual menginginkan uang sedang si pembeli mengingini sesuatu barang.
  2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum (1330 KUHPdt).
  3. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.  Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian juga harus ditentukan jenisnya.
  4. Sebab yang halal. Yang dimaksud sebab yang halal bukanlah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tetapi mengenai isi perjanjian itu sendiri dimana isinya bukan sesuatu yang terlarang, misalnya si penjual bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang.

Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat subjektif, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Sedangkan syarat ke 3 dan 4 dinamakan syarat objektif, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

Batalnya Suatu Perjanjian (1321 KUHPdt)

Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membatalkan perjanjian, yaitu:

  1. Paksaan, yang dimaksud paksaan di sini adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa bukan paksaan badan, misalnya dengan diancam atau ditakut-takuti;
  2. Kekhilafan atau kekeliruan, terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan, misalnya seseorang yang membeli lukisan yang dikiranya karya Basuki Abdullah tetapi ternyata hanya tiruannya saja;
  3. Penipuan, terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya agar setuju dengan perjanjian tersebut.

Prestasi dan Wanprestasi

Prestasi

Adalah sesuatu yang harus dipenuhi dalam perjanjian. Menurut pasal 1234 KUHPdt prestasi terbagi menjadi 3 macam, yaitu:

  1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (pasal 1237 KUHPdt).
  2. Prestasi untuk berbuat atau melakukan sesuatu (pasal 1239 KUHPdt).
  3. Prestasi untuk tidak berbuat atau melakukan sesuatu (pasal 1239 KUHPdt).

Sedangkan sifat dari prestasi adalah:

  1. Harus tertentu atau sudah ditentukan.
  2. Dapat dipenuhi, di mana debitur berusaha dengan segala usahanya. (batal demi hukum).
  3. Halal (batal demi hukum).
  4. Bermanfaat bagi kreditur (dapat dibatalkan).
  5. Satu atau lebih perbuatan.

Wanprestasi

Yaitu tidak dipenuhinya apa yang diperjanjikan (alpa/lalai janji). Seseorang dianggap wanprestasi apabila:

  1. Tidak memenuhi kewajibannya.
  2. Memenuhi kewajibannya tetapi keliru.
  3. Memenuhi kewajibannya tetapi terlambat.
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Umumnya wanprestasi disebabkan oleh:

  1. Kesalahan debitur, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
  2. Overmacht, keadaan memaksa di luar kemampuan debitur, misalnya bencana alam.

Terhadap wanprestasi atau kelalaiannya, debitur dapat dikenakan sanksi:

  1. Membayar ganti rugi yang diderita kreditur (1243 KUHPdt).
  2. Pembatalan perjanjian (1266 KUHPdt).
  3. Peralihan risiko (1267 KUHPdt).
  4. Membayar biaya perkara, apabila sampai dipengadilan.

Namun demikian debitur dapat dibebaskan dari hukuman dengan alasan sebagai berikut:

  1. Keadaan memaksa atau kejadian yang tak terduga (overmacht atau force majeur).
  2. Kreditur sendiri juga lalai (exception non adimpleti contractus).
  3. Pelepasan hak (rechtverwerking), yang dilakukan oleh kreditur.

Hapusnya Perikatan

Pada pasal 1381 KUHPdt disebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu:

  1. Pembayaran;
  2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
  3. Pembaharuan utang;
  4. Perjumpaan utang atau kompensasi;
  5. Percampuran utang;
  6. Pembebasan utang;
  7. Musnahnya barang yang terutang;
  8. Batal/pembatalan;
  9. Berlakunya suatu syarat batal;
  10. Lewat waktu.

Demikian pembahasan Hukum Perikatan, semoga bermanfaat.

Baca juga:

Bagikan yuk!
Posted in Course